Minggu ini jadi saat yang bersejarah untuk Indonesia: untuk pertama kalinya lebih dari 8.000 orang bergabung dalam puluhan aksi #JedaUntukIklim di 23 kota. Anak-anak berada di barisan depan, bersama mahasiswa, pekerja, dan orang tua yang menjawab panggilan mereka. Kita jadi bagian aksi yang melibatkan lebih dari 4 juta orang di 161 negara. Ini bukti kita memiliki kekuatan rakyat yang dibutuhkan untuk mengatasi krisis iklim dan mengakhiri era energi kotor.

#JEDAUNTUKIKLIM, AKSI KITA BERSAMA

Ini sungguh pekan yang bersejarah, karena tak pernah sebelumnya begitu banyak orang turun ke jalan demi bumi. Dari Aceh sampai Kupang, dari Indonesia sampai Amerika Serikat.Ingin tahu kata peserta aksi global yang menuntut semua orang bergerak mengatasi darurat iklim? Simak video ini!#ClimateStrike #FridaysForFuture

Posted by 350.org Indonesia on Wednesday, September 25, 2019

 

Di Indonesia, kita melihat Aceh, Bali, Batam, Bandung, Canggu, Cilegon, Cirebon, Garut, Jakarta, Kupang, Malang, Makassar, Palangkaraya, Palembang, Palu, Pekanbaru, Pontianak, Samosir, Semarang, Sidoarjo, Sukadana, Surabaya, dan Yogyakarta bergerak serentak.

Tuntutan intinya satu: agar pemerintah mendeklarasikan darurat iklim dan melaksanakan transisi ke energi terbarukan yang adil dan lestari. Tiap aksi bisa juga menambahkan tuntutan yang relevan. Misal, Palangkaraya dan Pontianak mendesak pemerintah segera mengatasi kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan yang sudah 22 tahun tak tuntas. Aceh meminta pemerintah memfasilitasi pemilahan, pengolahan, dan daur ulang sampah, serta mendorong anak muda mengurangi pemakaian plastik. Bengkulu menyeru semua pihak agar berhenti kecanduan batu bara.

Rangkaian aksi #JedaUntukIklim sangat beragam dan menunjukkan kreativitas anak muda seantero nusantara: workshop dan pameran seni, sablon kaos, diskusi tentang darurat iklim, nonton film bareng, aksi teatrikal, foto solidaritas, festival budaya, hingga pawai dan turun ke jalan.

Aksi #JedaUntukIklim pertama di Indonesia tercatat dimulai pada 13 September 2019 di Malang. Pesertanya ialah para Pejuang Iklim cilik dari SDK Santa Maria 3 beserta guru-gurunya. Wajah-wajah pewaris masa mendatang berada di baris depan aksi ini.

 

 

Di Bengkulu, para penggagas #JedaUntukIklim melakukan aksi teatrikal dengan wajah dicat arang. Wajah hitam itu sinyal bagi gugatan mereka: stop kecanduan batu bara! Mereka mendesak pemerintah menghentikan niat mengubah sebagian lahan Taman Wisata Alam (TWA) Seblat menjadi tambang batu bara. Padahal, di sanalah habitat terakhir gajah Sumatra.

 

 

Sementara itu, di Gampong Nusa, Aceh Besar, aksi dilakukan dalam bentuk membersihkan lingkungan dan makan sajian tradisional bersama. Mereka juga menonton layar tancap dan mengucapkan deklarasi menjaga bumi.

 

 

Palangkaraya jadi satu-satunya kota yang turun ke jalan setiap hari pada 20-27 September 2019. Digagas Youth Act Kalimantan dan Ranuwelum Foundation, peserta aksi bukan hanya berorasi dan membentangkan poster menggugat 22 tahun musim asap. Mereka pun membagikan masker N95 bagi pekerja dan penduduk, serta mengajari cara memakai masker yang benar. Sebagian peserta aksi telah lama turun tangan, menjadi relawan yang ikut memadamkan api, menyediakan rumah aman tanpa asap, juga menyediakan obat dan bantuan lain bagi masyarakat.

 

Setelah aksi, lalu apa?

Ini pertanyaan yang ada dalam benak banyak orang, mungkin juga kamu lontarkan sekarang. Apa yang terjadi di masa depan bergantung pada kita. Mobilisasi iklim terbesar dalam sejarah tidak akan cukup jika aksi itu berakhir minggu ini dan peserta pulang ke rumah.

Apa kamu mau menggunakan kekuatanmu untuk terus memberi tekanan?

Klik tautan ini untuk cari tahu cara melanjutkan perjuangan setelah aksi Jeda untuk Iklim: http://next.jedauntukiklim.net